Image
0

Jingga Diujung Senja

Tepian sungai Musi, jam 05:30 sore.

Suatu sore pada pertengahan musim kemarau di pinggiran sungai yang membelah kota palembang. Siang hari terik panas begitu menyengat dan malam hari dingin angin begitu menusuk.

Aku masih berdiri disini. Ketika senja perlahan hadir mengakhiri siang yang panas menyengat. Menatap jingga di ujung senja. Di hadapanku air sungai terlihat berkilau tersorot lampu-lampu dari jembatan Ampera. Beberapa perahu kecil menepi di pinggiran sungai. Suatu pemandangan favoritku.

Beberapa menit telah berlalu. Aku masih diam tak bergeming, belum beranjak dari tempatku berdiri. Suara bising kendaraan kian menderu di telingaku. Suara kendaraan yang berebut untuk berada di tempat terdepan. Yaayy..kemacetan terlihat jelas di jembatan Ampera. Gaduh..sangat gaduh.

Disini, aku masih menunggunya. Seperti yang telah dia janjikan. Dia akan selalu datang di setiap senja tiba. Aku hanya perlu menunggunya disini. Di tempat biasa kami menikmati senja yang berwarna jingga.

“lalu bagaiman jika suatu saat ketika kita berjarak dan aku merindukanmu, Senja?” tanyaku pada Senja suatu ketika.

“Jingga, kau hanya perlu berdiri di tempat biasa kita menghabiskan waktu menikmati senja. Sebutlah namaku tiga kali dan aku kan berada disisimu..” jawabnya menghiburku dengan sebuah senyum melingkar di bibirnya.

Tiga puluh menit berlalu. Langit semakin menghitam. Tapi belum ada tanda-tanda kehadirannya. Aku masih menunggunya. Terus menunggunya. Sambil berharap dia segera datang. Mengejutkanku, menutup kedua mataku dengan tangannya dari belakang, sambil berbicara dengan suara yang dibuat sedemikian aneh agar aku pikir orang lain yang mengerjaiku. Tapi aku tak pernah terkecoh dengan suara anehnya. Aku selalu mampu mengenalinya lewat sentuhan jemari tangannya yang lembut dan hangat.

“Senja..Senja..Senja…aku merindukanmu. Sangat merindukanmu” ucapku lirih disertai cairan bening hangat yang tiba-tiba mengaliri pipiku.

“Senja, kamu akan menepati janjimu kan, sayang? Seperti senja yang selalu tak pernah ingkar janji datang pada waktunya yang telah dijanjikan..” ucapku lagi dengan tangis yang sesenggukan.

Ku usap cairan bening yang membanjiri pipiku ketika menyadari ada seseorang yang menepuk bahuku. Kupalingkan wajahku kearahnya.

“Jingga, Senja tidak akan pernah datang. Sadar sayang sadar, dia sudah pergi. Dia sudah berada di dunia yang berbeda dengan kita. Iklaskan dia sayang, karena dia tak akan pernah kembali. Ini kenyataan, kamu harus menghadapinya” ucap Bagas sahabatku yang kini berdiri tepat dihadapanku.

Jingga di ujung senja telah berlalu, digantikan malam dengan warna hitam pekatnya. Aku dan Bagas pun berlalu meninggalkan sungai Musi dengan segala kenangannya. Melaju dengan cepat dengan mobil Skyline yang dikendarai Bagas.

jembatan ampera, pic by irwinday